Menginjak
tahun baru 2017, setidaknya umat Islam Indonesia membawa modal
yang bagus. Yaitu ukhuwah
Islamiyah dan ghirah mandiri. Dua modal
itu merupakan efek dari Aksi Bela Islam di Jakarta. Berkumpulnya jutaan
umat Islam untuk shalat Jumat dan berdoa di Monas sungguh mengharukan karena
peristiwa itu jarang terjadi. Efek lain
adalah menumbuhkan kepercayaan diri.
Terpanggilnya
jutaan kaum muslim dari seluruh penjuru tanah air menunjukkan kemauan dan
kekuatan umat untuk membela agamanya dari hinaan orang sangat besar. Begitu ada
komando maka jutaan umat berduyun-duyun ke Jakarta dengan modal sendiri. Mereka
melepaskan atribut kelompok kemudian
menyatu dalam satu kekuatan Islam.
Ketika
ada halangan dari polisi yang mencegah kedatangan umat ke Jakarta dengan
mengancam perusahaan bus agar tidak mengangkut mereka, umat pun tidak lantas
menyerah. Umat Islam Ciamis memutuskan
berjalan kaki long march ke Monas
menempuh jarak 200 km. Gerakan ini menginspirasi kota-kota lain yang akhirnya
turut berjalan kaki ketika sulit mendapatkan bus. Polisi pun dibuat repot
dengan aksi balasan ini.
Efek
peristiwa itu juga membangkitkan kesadaran umat untuk mandiri demi menegakkan
harga diri sebagai umat dan bangsa. Ghirah ini muncul tidak lepas dari situasi
politik dan ekonomi negeri yang semakin
melemahkan ekonomi rakyat dan menyudutkan posisi umat Islam.
Melemahnya
ekonomi rakyat karena pemerintah lebih suka berpihak kepada praktik
kapitalisasi dan liberalisasi. Rakyat miskin digusur karena kumuh dapat merusak
harga kawasan mewah yang dibangun lewat modal kapitalis asing.
Minimarket
tanpa izin menjamur di perkampungan mematikan usaha toko pracangan. Minimarket
itu simbol konglomerasi pengusaha besar yang ikut menjarah bisnis recehan. Pemerintah tidak berani secara tegas
membatasi gerak bisnis konglomerasi ini dengan alasan kebebasan berusaha.
Dipicu
oleh pengumuman pabrik Sari Roti yang menyudutkan Aksi Bela Islam sehingga
memunculkan gerakan boikot terhadap produk roti itu. Boikot juga melebar dengan
anjuran tidak berbelanja di minimarket
keras disuarakan. Gerakan boikot ini bertujuan menyadarkan para kapiltalis
bahwa pasar produk mereka tergantung
dari konsumen besar muslim.
Aksi
ini berdampak positif. Pertama, memunculkan perusahaan roti di kalangan umat untuk mengisi pasar sehingga
ada pilihan produk yang berpihak kepada rakyat. Kedua, mendirikan minimarket
sendiri dan menghidupkan toko dan pasar tradisional.
Memang
ada suara nyinyir dan sinis mencoba melemahkan. Dikatakan, pabrik roti umat dan
minimarket itu tidak bisa lepas dari menjual produk kapitalis dan konglomerat
yang sudah menguasai pasar. Pada langkah pertama, ketergantungan dengan produk
kapitalis memang belum bisa dielakkan. Penguasaan pasar mereka saat ini sukar
dilawan.
Setahap
demi setahap dalam jangka panjang bila bisnis umat ini konsisten dan berkembang
niscaya kemandirian itu bakal terwujud untuk memenuhi produk di pasar umat
Islam. Setidaknya ada bargaining position
dengan para kapitalis ketika produk-produk umat juga menjadi pilihan. Tentu
saja semangat boikot produk kapitalis dan anjuran membeli di toko pribumi harus terus dilantangkan.
Membangkitkan
ekonomi rakyat ini bukan pilihan gampang. Sebab yang dilawan adalah kapitalis.
Ibaratnya seperti cecek nguntal dingklik, kata arek Surabaya. Apalagi pemerintah juga
tidak berniat menumbuhkan pengusaha pribumi. Maka gerakan ini berhasil harus
dari umat sendiri tanpa mengandalkan pemerintah.
Kita
tengok saja ke belakang becermin kepada sejarah. Islam berkembang ke nusantara
karena perdagangan. Melahirkan saudagar-saudagar pribumi di kawasan pesisir dan
pelabuhan ketika bertemu dengan pedagang dari Timur Tengah. Bisnis yang
dibentuk adalah saling menguntungkan. Maka tersebarlah penganut Islam di
kalangan rakyat sekaligus menumbuhkan perekonomiannya.
Tapi
pelajari sejarahnya juga, perkembangan ekonomi rakyat ini akhirnya dirusak oleh
kedatangan orang-orang asing dari Eropa yang rakus ingin menguasai kekayaan alam dan manusianya. Kapitalis asing
inilah sejak masa dulu yang merusak kehidupan rakyat kita.
Sekarang
kapitalis asing pun berdatangan dengan gaya ramah tamah. Bahkan mereka
diundang. Namun pengalaman menunjukkan kenyataan, ketika ekonomi dikuasai
mereka, bangsa pribumi hanyalah menjadi kuli dan buruh. Pemerintah tertawa-tawa
bangga karena mampu membuka lowongan kerja bagi rakyatnya. Bangga rakyatnya
sebagai buruh dan kuli.
Alquran
menuliskan dalam surat Ali Imron : 110, kalian adalah umat terbaik yang
dilahirkan kepada manusia. Kalian menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran dan
kalian orang yang beriman kepada Allah.
Gambaran ideal umat Islam seperti itu pernah terjadi
di zaman Rasulullah yang akhirnya menguasai jazirah Arab. Kemudian diteruskan
penggantinya hingga menyebar ke separo dunia.
Menciptakan tatanan masyarakat tauhid, egaliter, makmur, dan militan.
Kemakmuran
dan kekayaan pada akhirnya memang melenakan dan melemahkan militansi sehingga
tatanan ini gampang dihancurkan lagi oleh kedatangan orang-orang asing dari Eropa.
Umat tercerai berai dalam kepentingan
politik yang berbeda.
Dalam situasi lemah ini posisi umat Islam
menjadi serba salah. Berusaha bangkit dituduh teroris. Membangun perekonomian
ditertawakan sebagai kemuskilan. Menuntut
keadilan dianggap rasialis, intoleran, dan merusak kebinekaan.
Kasus
terbaru, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram memakai atribut
non muslim malah dinilai pemerintah meresahkan masyarakat dan mengabaikan
toleransi. Pejabat kita seperti menutup mata dikeluarkannya fatwa itu
disebabkan pengusaha memaksakan buruh muslim mengenakan atribut Kristen saat
perayaan natal.
Dalam
situasi yang tidak menguntungkan seperti ini tidak ada kata lain selain: lawan
ketidakadilan. Bila diserukan baik-baik malah dilecehkan maka pilihanya adalah
revolusi. (*)