Pemerintah telah menghukum mati bandit-bandit narkoba di penjara Nusa Kambangan bulan lalu. Seperti biasa muncul kritikan bahwa hukuman mati melanggar HAM (Hak Asasi Manusia). Melanggar Universal Declaration of Human Rights pasal 3 bahwa setiap orang mempunyai hak atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan.
Hukuman mati
juga dianggap sebagai praktik hukum primitif, tidak ada efek jera bagi pelaku lain, dan
mengambil alih hak Tuhan yang menghidupkan dan mematikan seseorang.
Memang, hidup
adalah anugerah Tuhan. Begitu pula kematian, Tuhan juga yang mendatangkan. Dalam surat Mulk (67) : 2 dapat kita pahami
bahwa Allah yang menciptakan mati dan hidup. Untuk apa? Untuk menguji manusia ,siapa yang terbaik perilakunya.
Jika demikian
tujuan pemberian anugerah kehidupan itu maka wajarlah lantas timbul ganjaran
dan hukuman atas perilaku manusia. Mereka yang berbuat baik mendapatkan
ganjaran dan yang berperilaku buruk diberi hukuman. Maka dibuatlah nilai dan norma berperilaku
untuk mengukur mana saja kelompok
perbuatan baik dan buruk.
Allah juga
mengajari manusia untuk memberikan
ganjaran teringan hingga tertinggi untuk manusia salihin. Begitu pula Allah
menuntun manusia untuk menjatuhkan sanksi ringan sampai terberat kepada
manusia-manusia durjana.
Di sisi lain,
Allah yang memberikan anugerah kehidupan
ternyata juga memberikan wewenang kepada manusia untuk menjatuhkan sanksi hukuman mati
sebagai hukuman terberat. Hukuman ini diberikan ketika manusia berbuat
jahat luar biasa.
Surat Al Isra
(17) : 33 tertulis, dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan kebenaran. Dan barang siapa
dibunuh secara dhalim maka sungguh kami telah memberi kekuasaan kepada walinya tetapi janganlah wali itu
melampaui batas dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia orang yang mendapat
pertolongan.
Allah
mengizinkan memberi hukuman mati dengan alasan yang benar. Alasan benar itu didasarkan kepada peraturan.
Bukan atas kemauan sendiri. Jadi bila
negara menerapkan hukuman mati untuk kejahatan sangat berat maka itu benar.
Hukuman
mati diterapkan dalam hukum Islam untuk
kejahatan membunuh (qishash, hudud) dan
berzina (rajam). Seperti disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 178-179 bahwa pemberlakuan qishash untuk pembunuhan.
Qishash adalah hukuman yang sepadan dengan kejahatannya. Tapi bisa bebas dengan membayar diyat. Qishash
diterapkan sebagai jaminan ketertiban hukum masyarakat. Ayat senada juga terdapat dalam Al Maidah ayat 45.
Kejahatan narkoba
memang tidak tersebut dalam ayat itu. Melihat betapa buruknya pengaruh narkoba
terhadap kesehatan badan, jiwa, dan ekonomi korbannya maka perdagangan narkoba
merupakan kejahatan keji yang
menguntungkan dengan mengorbankan kemanusiaan.
Belum lagi laporan
Badan Nasional Anti Narkoba (BNN) mencatat, sebanyak 50 pecandu mati setiap
hari karena narkoba. Maka perdagangan ini merupakan kejahatan berat, keji, dan
kejam yang patut mendapat hukuman mati dan tidak ada diyat.
Hukuman mati
juga dituduh melanggar kesempatan terpidana bertaubat untuk kesempatan kedua. Praktiknya, pejahat narkoba tidak pernah jera
dan taubat ketika diberi kesempatan kedua. Bahkan mereka masih dapat berbisnis dan
memproduksi narkoba dalam penjara dengan menyogok sipir dan aparat hukum lain
di luar.
Dalam penjara
saja penjahat narkoba juga mampu merusak aparat hukum dengan suap, maka hukuman
seumur hidup menjadi percuma. Untuk memutus semua aktivitas yang merusak itu
hukuman mati merupakan solusi. Dan hukuman itu dibenarkan oleh Tuhan dengan
syarat melewati proses pengadilan yang adil.
Kerusakan
yang ditimbulkan oleh perdagangan narkoba sangat besar. Bahkan melanggar nilai
asasi manusia dalam Universal
Declaration of Human Rights. Hak
generasi muda mendapat penghidupan yang
sehat dan bersih. Hak kemerdekaan dari ketergantungan narkoba. Dan hak keselamatan
hidup di dunia akhirat.
Penjahat yang menghancurkan nilai hak asasi manusia
tentulah orang yang telah kehilangan kemanusiaannya. Menghukum mati penjahat
ini justru untuk menegakkan nilai kemanusiaan. Karena itu hukuman mati tidak
melanggar HAM.
Soal pertaubatan
justru lebih baik terjadi menjelang eksekusi mati. Sebab orang yang tahu segera mati biasanya muncul
kesadaran kemanusiaannya kemudian menyesal dan bertaubat dengan sebenarnya. Sesudah eksekusi mati semuanya menjadi urusan Tuhan.
Berdasarkan
informasi Al Baqarah : 160, mereka yang
bertaubat, melakukan perbaikan, dan menjelaskan kejahatannya maka Tuhan
menerima taubatnya. Kondisi seperti ini bagi penjahat justru menjadi lebih baik
karena hukuman itu menghentikan perbuatan jahat dan hidup sesudah matinya
mendapat ampunan Tuhan.
Memang hukum
yang berlaku di negara ini bukan hukum Islam tetapi hukum sekuler. Karena itu
tidak menjelaskan ruh dan nilai spiritualnya. Hukum sekuler semata-mata
bertujuan menjaga ketertiban hidup masyarakat. Sedangkan hukum Islam selain
menciptakan kehidupan harmoni di dunia juga menggapai keindahan hidup di
akhirat. Bahkan untuk penjahat pun Tuhan memberikan petunjuk lewat pertaubatan.
Ingat kisah
yang diceritakan Nabi Muhammad tentang seorang penjahat yang berniat insyaf?
Dia sudah membunuh 99 orang. Kemudian dia menemui pendeta dan bertanya, apakah
dosanya bisa diampuni Tuhan? Pendeta itu menjawab, tidak mungkin Tuhan
mengampuni. Penjahat itu marah dan membunuhnya.
Kemudian dia
bertemu seseorang dan bertanya tentang pengampunan Tuhan. Orang itu menunjukkan
agar menuju ke desa sebelah bertanya pada orang alim di sana. Di tengah
perjalanan dia mati. Dua malaikat berdebat antara menyeret ke neraka atau ke
surga. Solusinya, mengukur jarak perjalanan. Karena jarak desa yang dituju
sudah dekat maka dia masuk surga.