Penyanderaan awak kapal Indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf di
Filipina Selatan, 26 Maret lalu, membuat kita bertanya, mungkinkah kelompok
pejuang muslim atau mujahidin melakukan kejahatan itu? Abu Sayyaf adalah
kelompok milisi muslim yang berjuang
untuk kemerdekaan bangsa Moro di Filipina. Kelompok ini adalah pecahan dari
MILF (Moro Islamic Liberation Front).
Ketika
membuka file tentang Abu Sayyaf ternyata
pembajakan kapal dan penyanderaan bukan kali pertama ini saja terjadi. Hampir
sepanjang tahun mereka melakukan itu di Selat Filipina di wilayah Malaysia,
Filipina, dan Indonesia. Mereka memang bangsa pelaut yang menguasai perairan
itu.
Kita
buka file lagi ternyata penyanderaan juga dilakukan oleh kelompok pejuang
muslim di negara lain yang sedang
berjuang untuk merdeka. Misalnya kelompok Boko Haram di Afrika, ISIS di Suriah,
pejuang Somalia, Taliban di Afghanistan. Mereka minta tebusan uang atas sandera
itu kalau tidak dipenuhi maka sandera dihukum mati. Ada yang menyebut uang
tebusan itu untuk membiayai operasional kelompok mereka.
Mungkin
ada yang berdalih bahwa sandera itu statusnya adalah tawanan perang sehingga
sah saja itu dilakukan. Tapi faktanya, sandera itu diperoleh dengan cara menyerang
warga sipil yang tidak terlibat dengan perang. Sandera itu bisa saja pejabat
setempat, pekerja asing, turis, atau wartawan. Sangat jauh sekali sandera ini
disebut sebagai tawanan perang apalagi budak.
Tawanan
perang adalah orang yang terlibat perang yang kalah atau tertangkap. Di zaman
dahulu kala status mereka sama seperti ghanimah
atau harta rampasan perang. Kalau kerabatnya ingin menyelamatkan maka
tawanan ini ditebus dengan sejumlah uang. Jika tidak maka statusnya menjadi
budak. Tidak peduli kedudukannya
setinggi apa di masyarakatnya, ketika menjadi budak bisa diperjualbelikan di
pasar budak. Semua hak sosial dan kemanusiannya lenyap.
Perlakuan
tawanan perang sebagai budak sudah lama dihapus karena tidak manusiawi.
Negara-negara di dunia lewat kesepakatan PBB dalam Perjanjian Jenewa sepakat
memperlakukan tawanan perang secara baik. Ini demi penghargaan harkat martabat sebagai
manusia.
Lantas
kalau kemudian ada kelompok pejuang yang menyebut berjihad demi Islam lantas
merampok dan menyandera warga sipil bisakah perbuatan itu dibenarkan? Memang
ada dalil tentang fa’i. Yakni
perampasan harta benda orang-orang kafir yang memusuhi Islam. Atas dasar dalil fa’i inilah ada kelompok
yang membenarkan merampok toko mas atau rumah orang kaya untuk membiayai jihad.
Kelompok ini berdalih, sekarang
ini dalam situasi perang melawan pemerintah kafir dan thagut. Negara yang
diatur tidak berdasar Alquran, mereka hukumi kafir dan thagut dan wajib
diperangi. Karena itulah mereka membenarkan berlakunya hukum perang meskipun
secara fakta negara itu dalam kondisi damai.
Kelompok pejuang ini pun
melancarkan serangan secara sporadis di tempat strategis untuk mengacaukan
keamanan negara. Mereka sebut ini perang gerilya sebagai taktik melawan
kekuatan besar. Tapi pemerintah menyebut sebagai kelompok teroris sebab mereka
menebar teror di masyarakat.
Terlepas dari dalil-dalil tadi
ada baiknya kita melihat efek maslahat dan mudaharat yang ditimbulkan dari
perbuatan itu. Efek maslahat dari perbuatan itu hanya dinikmati oleh kelompok
itu sendiri berupa uang tebusan atau
eksistensinya yang harus diperhitungkan.
Efek mudharatnya justru lebih besar menimpah Islam dan kaum muslimin.
Dengan perbuatan itu Islam
dikenal sebagai agama yang keras, radikal, dan teror. Islamofobia makin meluas di negara kafir.
Sekeras apa pun suara pembelaan bahwa kekerasan itu hanya dilakukan oleh oknum,
bukan cerminan ajaran Islam yang sebenarnya tapi cap Islam sebagai agama teror
telanjur melekat.
Dalam Sirah Nabawi, ada situasi yang mirip-mirip
seperti ini tapi harus ditelaah dengan cermat agar tidak salah tafsir. Penyebab
pecah Perang Badar adalah penghadangan kafilah dagang Quraisy dari Syam yang
dipimpin Abu Sufyan oleh pasukan muslim Madinah.
Bagi
saudagar Quraisy, penghadangan itu adalah perampokan. Namun bagi kelompok
muslim, tindakan itu sebagai balasan atas serangan orang Quraisy terhadap
ternak orang Madinah. Lebih jauh lagi, penghadangan itu juga balasan kepada
kafir Quraisy atas pengusiran kaum muslimin dari Mekkah.
Selain
itu situasi antara orang Mekkah dan Madinah sejak masa hijrah memang dalam
kondisi perang. Secara sporadis antara
dua kota ini sudah terjadi perang kecil hingga peristiwa penghadangan kafilah
Quraisy itu menyulut perang besar ketika
kedua pihak mengerahkan pasukannya. Kasus Perang Badar tidak pas untuk
membenarkan tindakan penyanderaan oleh kelompok
mujahid.
Peristiwa yang mungkin agak cocok untuk menjelaskan perbuatan
kelompok pejuang garis keras ini adalah terbentuknya kelompok Abu Bashir. Setelah
perjanjian Hudaibiyah ditandatangani, konsekuensinya kaum muslim Mekkah tidak
bisa lagi hijrah ke Madinah. Kalau ada muhajirin yang nekat maka Nabi Muhammad harus mengembalikan ke Mekkah. Masalahnya mereka tidak bersedia lagi
hidup di Mekkah bersama orang kafir.
Muhajirin
telantar ini seperti Abu Bashir dan Abu Jandal bin Amr kemudian lari ke daerah Al Ish. Di dekat situ adalah jalur pesisir pantai tempat para
kafilah berlalu lalang antara Syam dan Mekkah. Di sinilah Abu Bashir menetap
dan memulai petualangannya. Untuk memenuhi hidup dia mencegat kafilah yang
lewat dan merampas hartanya.
Kabar tentang Abu Bashir sebagai
perampok di jalur pesisir langsung tersebar ke mana-mana.
Abu Bashir
menjadi terkenal. Orang-orang Islam Mekkah yang tidak dapat hijrah ke Madinah tertarik
dengan kisah Abu Bashir. Satu demi satu mereka
pergi menuju Al Ish bergabung dengannya.
Lambat laun kelompok Abu Bashir
makin kuat. Banyak orang telantar bergabung dengan kelompok ini. Pasukannya
mencapai jumlah tujuh puluh orang menjadi kelompok paling ditakuti para kafilah
di jalur pesisir. Gangguan di jalur itu meresahkan pemimpin Mekkah yang
bertanggung jawab atas keselamatan para kafilah.
Pemimpin Quraisy kemudian
berkirim surat kepada Rasulullah untuk melindungi para kafilah dan mengatasi
orang-orang Islam yang menjadi perampok di jalur itu. Rasulullah menyanggupi
dengan syarat Abu Bashir dan anggota kelompoknya dibolehkan ditarik ke Madinah.
Orang Quraisy tidak mau pusing lagi dengan Abu Bashir dan isi
perjanjian Hudaibiyah. Bagi mereka yang penting jalur dagang itu aman. Maka
Rasulullah mengirim utusan ke Abu Bashir.
Dia dan anggota kelompoknya diminta segera tinggal di Madinah dan
mengakhiri aksinya.
Bisa
jadi kelompok Abu Sayyaf dan sejenisnya adalah orang-orang telantar yang
perjuangannya tidak kunjung selesai. Solusinya adalah perundingan damai antara semua kelompok pejuang dengan
pemerintah. Seperti perdamaian antara
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah. (*)